Return to site

"Mendorong Transformasi Industri Persampahan & Energi di Indonesia"

Ditulis oleh:

Cynthia Hendrayani. Penulis adalah praktisi industri persampahan di Indonesia sejak tahun 2008. Penulis sebelumnya bekerja sebagai Vice President di PT Navigat Organik Energi Indonesia, dan terlibat dalam proyek-proyek waste-to-energy baik di Jakarta maupun di Surabaya. Saat ini Penulis bekerja sebagai Direktur di PT Acritas Energi Indonesia, yang juga bergerak di industri yang sama, dan Sekjen Asosiasi Pengusaha Pembangkit Listrik Sampah Indonesia.

Latar Belakang

Masalah sampah di Indonesia sudah dalam level kritis, tidak hanya di DKI Jakarta, tetapi di semua kota. Dalam artikel ini, kami berupaya memberikan pemikiran-pemikiran kami terkait solusi yang dapat mentransormasikan industri persampahan di Indonesia, sesuai dengan semangat Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2016 untuk merealisasikan dengan segera proyek-proyek sampah di 7 kota berdasarkan pengalaman kami menjadi mitra pemerintah.

Adanya pendanaan dan pengetahuan teknis adalah dua hal sangat penting, namun juga belum mampu menjawab keseluruhan masalah tanpa didukung kelembagaan dan kebijakan nasional yang kuat dan searah. DKI Jakarta yang notabene memiliki tingkat pengetahuan teknis dan pengalaman yang relatif tinggi dan didukung dengan nominal APBD yang jauh lebih besar dari daerah lainnya sampai hari ini belum mampu merealisasikan fasilitas persampahannya sampai hari ini. Hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dan dipelajari dari kasus Jakarta dan Surabaya, sebagai dua kota yang sudah memiliki KPS (Kerjasama Pemerintah Swasta) di bidang Persampahan yang dapat menjadi informasi penting untuk menyusun strategi nasional mengatasi sampah di Indonesia.

Pembuka

Dibulan November 2015, Presiden Jokowi harus turun tangan untuk mengakhiri konflik penutupan jalur persampahan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, DPRD Bekasi, dan Badan Usaha pengelola sampah yang mengakibatkan sampah Jakarta tidak terangkut ke tempat pembuangan sampah milik DKI Jakarta yang berlokasi di Bekasi (TPST Bantargebang). Presiden Jokowi memerintahkan supaya akses jalan yang dilalui truk sampah Jakarta menuju Bekasi dibuka selama 24 jam. Instruksi ini memperlancar 1,200 unit truk sampah dari DKI Jakarta untuk dapat melakukan pembuangan 6,800 ton sampah per hari hingga hari ini. Langkah Presiden Jokowi ini memang mengakhiri krisis sampah DKI Jakarta tetapi belum mengkhiri masalah persampahan Jakarta yang terus menjadi bom waktu.

Sesungguhnya, solusi teknis permasalahan sampah Jakarta sudah diketemukan pada jaman pemerintahan Gubernur Sutiyoso. Saat itu, Jakarta dengan bantuan tenaga ahli Jepang melakukan kajian-kajian untuk mencari solusi permasalahan persampahan Jakarta. Hasilnya adalah sebuah Master Plan Persampahan Jakarta 2005-2015 yang merekomendasikan dibangunnya sarana–sarana persampahan untuk mereduksi jumlah sampah (Intermediate Treatment Facility) di Kawasan Utara Jakarta (ITF Marunda), di Kawasan Barat Jakarta (ITF Duri Kosambi), di Kawasan Timur Jakarta (ITF Cakung Cilincing), dan di Kawasan Selatan Jakarta (ITF Pulo Gebang). Rencananya ITF-ITF ini adalah unit-unit incinerator dalam kota, yang berkapasitas paling tidak 3,800 ton per hari, dan sisanya dilayani di tiga fasilitas tempat pembuangan akhir antara lain: TPA Bantargebang melayani ITF Kawasan Timur Jakarta, TPA Ciangir melayani ITF Kawasan Barat Jakarta, dan TPA Nambo melayani ITF di Kawasan Selatan Jakarta. Pada tahun 2011, TPA Ciangir resmi dibatalkan oleh Pemerintah Tangerang dan pada tahun yang sama pula Master Plan Persampahan di kaji kembali dengan kesimpulan bahwa Jakarta memerlukan kapasitas ITF sebesar 6,300 ton per hari.

Perencanaan yang disusun berbeda dengan realitas yang terjadi. Di tahun 2016, Jakarta masih hanya memiliki satu fasilitas pengolahan persampahan yaitu TPST Bantargebang di Bekasi dan belum ada upaya mereduksi timbulan sampah di dalam kota secara signifikan. Lebih parah lagi kegiatan membersihkan kota dan sungai dalam kota tidak ditindaklanjuti dengan realisasi penambahan kapasitas TPA (Nambo dan Lebak) untuk mengurangi beban TPST Bantargebang. Jumlah truk sampah menuju Bekasi terus meningkat pesat. Sayangnya Gubernur, DPRD dan pengelola terus terlibat konflik, tidak heran krisis sampah terjadi.

Solusi Percepatan Realisasi Fasilitas Persampahan di Indonesia

Diperlukannya sebuah Badan Otoritas Persampahan

Infrastruktur persampahan adalah infrastruktur yang mempengaruhi pemangku kepentingan yang luas dalam jangka sangat panjang. Karena itu, pelaksanaan infrastruktur persampahan memerlukan perencanaan yang panjang dan matang oleh ahli-ahli di berbagai bidang, yang mencakup:

  • Dari Aspek Teknologi. Teknologi persampahan sangat bervariatif dan setiap teknologi memiliki ruang applikasi tersendiri. Tidak semua teknologi cocok untuk semua kota. Teknologi berbasis themal combustion (incinerator, pyrolysis & gasification) adalah teknologi yang cocok untuk kota yang memiliki keterbatasan lahan dan biaya logistik yang mahal (seperti Jakarta). Namun akan menjadi tidak layak untuk kota dimana material yang akan dibakar memiliki nilai kalor rendah. Karena itu diperlukan sebuah keahlian khusus untuk dapat memilih dan merencanakan proyek-proyek persampahan yang cocok untuk masing-masing kondisi kota.
  • Dari Aspek Keuangan. Semua permasalahan dapat diselesaikan secara teknis apabila tidak ada keterbatasan anggaran. Di Jepang dimana harga tanah lebih dari USD1jt per meter persegi, upaya apapun untuk menurunkan residu sampah menjadi layak secara ekonomi meskipun biaya modal dan biaya operasinya sangat tinggi. Hal yang sama tidak berlaku untuk kebanyakan kota-kota di Indonesia, termasuk DKI Jakarta dimana penggunaan anggaran dan biaya valorisasi lahan belum diperhitungkan.       
  • Dari Aspek Kelembagaan & Kebijakan. Persampahan menyentuh banyak kementrian teknis, yaitu Kementrian Dalam Negeri (terkait penggunaan APBD oleh Pemerintah Kota), Kementrian Pekerjaaan Umum (terkait infrastruktur), Kementrian Energi (terkait pembangkitan listrik dari sampah), Kementrian Lingkungan Hidup (terkait dampak lingkugan). Perencanaan proyek persampahan wajib memenuhi aturan dari semua kementrian ini, akibatnya perencanaan sebuah proses persampahan harus melalui jalan yang panjang terutama apabila regulasinya masih harus dibuat karena masih First of Its Kind. Dari sisi Kebijakan, Peraturan Presiden No. 18/2016 hanya mencakup kebijakan di sektor hilir (pengelolaan akhir dan waste to energy), dan belum mencakup kebijakan hulu seperti pemisahan sampah di sumber dan penataan logistik persampahan yang sejatinya akan sangat mempengaruhi teknologi-teknologi yang dapat diapplikasikan di sektor hilir.   
  • Dari Aspek Sosial & Lingkungan. Proyek persampahan memiliki dampak yang luar biasa terhadap masyarakat luas. Tanpa kita sadari, industry informal pemulungan (recycling) di Indonesia menaungi ratusan ribu orang, tidak hanya pemulung namun juga industri daur ulang plastik yang sudah berdiri.  Sebuah incinerator yang dilaksanakan tanpa pertimbangan yang tepat, akan memotong mata rantai industri daur ulang ini dan memundurkan semangat kewirausahaan di Indonesia.

Memandang diperlukannya cakupan keahlian yang multi-disipline Indonesia selayaknya memiliki satu lembaga yang khusus memiliki otoritas dan pengetahuan yang mendalam dalam bidang persampahan, seperti halnya Badan Pengatur Jalan Tol atau SKK Migas. Badan otoritas persampahan ini mengawal semua aspek persampahan baik yang melibatkan listrik maupun tidak, dan terus mengembangkan pengetahuan, kebijakan, dan investasi di bidang persampahan.

Seperti halnya SKK Migas atau BPJT, lembaga ini akan mengakumulasi keahlian terkait persampahan, termasuk mengevaluasi kepatutan keuangan dari sebuah proyek persampahan secara keseluruhan dari proyeksi pendapatan listrik, daur ulang, dan lain-lain. Dinas Kebersihan dari masing-masing kota dapat memanfaatkan pengetahuan teknis dari lembaga ini pada saat melakukan perencanaan persampahan, sehingga dapat menghindari terjadi kesalahan yang sama.

Dengan hadirnya lembaga ini, maka pergantian kepala pemerintahan dalam hal ini Gubernur dan Kepala Dinas tidak lagi mengakibatkan hilangnya pengetahuan dan memundurkan jalannya proses-proses yang telah ada sebelumnya yang sangat merugikan semua pihak, seperti halnya Jakarta.

Badan ini juga dapat memberikan asistensi teknis kepada Pemerintah Daerah dalam hal:

  • melakukan kajian kelayakan (feasibility study) yang diusulkan oleh calon Badan Usaha ke Pemerintah Daerah, dan melakukan verifikasi atas kepatutan atas tipping fee yang diusulkan;
  • berkoordinasi dengan kementrian teknis atas nama Pemerintah Daerah dalam hal-hal terkait persampahan seperti tipping fee, feed-in tariff, perizinan, standar dampak lingkungan dan hal terkait lainnya;
  • membantu pemerintah daerah dalam hal melaksanakan teknis lelang proyek persampahan;
  • mempromosikan program-program persampahan daerah kepada investor yang memiliki kredibilitas yang tepat.

Dengan adanya Badan Otoritas Persampahan:

  • Pengetahuan akan persampahan akan terus terakumulasi dan terkonsentrasi dalam ahli-ahli persampahan di dalam institusi ini dan terus membaik kedepannya.
  • Perencanaan dan usulan proyek-proyek persampahan dikaji oleh pihak-pihak yang memiliki keahlian yang tepat. Hoax seperti proyek incinerator yang menghasilkan listrik diluar kewajaran sehingga tidak membutuhkan tipping fee dapat dieliminir dengana jawaban teknis, tanpa banyak membuang-buang waktu dan tenaga.

Diperlukannya Kepastian Pendapatan Listrik

Peraturan Menteri ESDM No. 44 Tahun 2015 adalah sebuah breakthrough di industri persampahan Indonesia. Peraturan menteri ini menetapkan harga pembelian listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebesar USD0.1855 per kWh apabila dihasilkan dengan teknologi thermal atau USD0.1655 per kWh dengan menggunakan teknologi landfill gas. Sayangnya, keputusan yang baik ini belum didukung dengan kepastian pembelian oleh PT PLN, dengan adanya keputusan direksi PLN untuk tidak menandatangani Power Purchase Agreement dibawah tariff-tariff baru.

Perlu dijelaskan bahwa umumnya di dunia, Badan Usaha proyek waste to energy memiliki dua pilar pendapatan, yaitu:

  • pendapatan utama (primary income), diperoleh dari jasa pengelolaan sampah yaitu jasa mengelola dampak negatif yang dihasilkan oleh material tersebut. Biaya jasa ini umumnya disebut sebagai tipping fee atau Biaya Jasa Pengelolaan Sampah dan dibayarkan per ton sampah yang dikelola;
  • pendapatan sampingan (secondary income), diperoleh dari hasil penjualan listrik terbarukan yang merupakan produk sampingan (by-product) dari pengelolaan sampah. Hasil listrik ini bukanlah penerimaan yang pasti, karena sampah yang dikirim tidak memiliki kualitas yang konsisten. Akibatnya listrik bisa dihasilkan atau bisa juga tidak. Badan Usaha tidak bisa dan tidak boleh mengontrol kualitas sampah seperti halnya saat meminta spesifikasi batu bara. Karena itu, Badan Usaha proyek waste-to-energy tidak bisa menjadikan listrik sebagai primary income, meskipun kontribusinya diharapkan cukup signifikan.   

Secara umum, jumlah total pendapatan tersebut harus mampu menutup biaya operasi, pengembalian investasi, dan keuntungan bagi Badan Usaha Proyek. Dengan ditetapkannya nominal penjualan listrik dalam Peraturan Menteri ESDM No. 44 Tahun 2015 maka nilai tipping fee dapat dihitung untuk mencapai sebuah indikator keuangan (IRR, NPV, ROI, Payback) yang dapat diterima semua pihak. Tanpa kepastian nilai jual listrik, maka pembahasan tipping fee tidak akan bisa mencapai sebuah kesimpulan.

Memandang pentingnya tariff listrik dalam diskusi PLTSa dan memandang target pelaksanaan Perpres yang sangat ambisius yaitu tahun 2018, maka mekanisme kompensasi terhadap penugasan pembelian listrik oleh PLN seperti yang dimandatkan dalam Pasal 7 Perpres 18/206 perlu segera mencapai titik temu.

Diperlukannya Flexibilitas Lingkup Teknologi

Peraturan Presiden No. 18/2018 menyatakan bahwa teknologi yang didorong adalah teknologi incineration, pyrolysis dan gasification. Tiga teknologi ini intinya merubah kalori dalam sampah menjadi energy yang dapat digunakan, yaitu listrik. Karena itu, tiga teknologi ini cocok dan ekonomis untuk sampah bernilai kalor tinggi dan lahan terbatas, seperti Jakarta.

Meskipun demikian perlu disampaikan bahwa, tiga teknologi ini juga mampu menanggulangi pembakaran sampah dengan nilai organik tinggi sampai pada batas tertentu. Hanya saja, membakar sampah dengan kalor rendah tidak memberikan kontribusi energi yang signifikan dan malah menyerap energi dari sampah berkalori tinggi lainnya sehingga meredam pembangkitan listrik, atau bahkan diperlukan injeksi bahan bakar fosil untuk dapat mempertahankan temperatur pembakaran yang aman dari pembentukan zat-zat berbahaya.

Sebagai illustrasi, sampah 1,000 ton dengan kadar organik 55% hanya memiliki 450ton material yang cocok untuk proses pembakaran. Sisanya 550 ton sampah memiliki nilai kalor yang sangat rendah antara 550–800kcal/kg, dan nilai moisture 70%. Material berkalor rendah ini lebih cocok diolah secara biologis untuk konversi biogas menjadi listrik atau biogas menjadi LNG yang juga merupakan energi yang dibutuhkan di Indonesia.

Paradigma inilah yang menjadi salah satu alasan yang mendasari mengapa di negara maju diwajibkan pengelompokan material organik dari material yang bisa dibakar, material yang bisa didaur ulang, dan material yang tidak bisa diolah lagi. Sehingga material dapat dikirim ke sentra pengolahan sudah sesuai dengan karakter materialnya. Dengan demikian, biaya pengolahan per unit dapat ditekan dengan membatasi jumlah material yang perlu di-insinerasi. Prinsip ini sesuai dengan prinsip dasar hirarki pengelolaan persampahan yaitu Reduce. Reuse. Recycle, baru kemudian dilakukan energy recovery dan selanjutnya final disposal. Mass-burn incineration seperti halnya yang akan diterapkan di Jakarta, akan cenderung memotong jalur reuse dan recycle untuk memenuhi kapasitas dan kalor tinggi – dan ini dimaklumi dimana lahan sudah terbatas dan mahal.

Memandang perlunya optimalisasi penggunaan anggaran negara, kami mengusulkan supaya dukungan pendanaan yang disediakan dalam Perpres 18/2018 tidak membatasi lingkup waste to energy hanya pada teknologi {incinerator, gasifikasi, dan pyrolysis} semata, namun juga mencakup pada teknologi-teknologi konversi energy yang MENDUKUNG operasi teknologi {incinerator, gasifikasi, dan pyrolysis} menjadi lebih optimal. Contohnya mengintegrasikan produksi Refuse Derived Fuel apabila lokasi unit tidak jauh dari pabrik semen dengan incinerasi, memproduksi bioLNG apabila lokasi unit tidak jauh dari industry yang membutuhkan industrial gas dengan insinerasi, dan lain-lain. Tambahan pendapatan dari bentuk energy lain (RDF/SRF/bioLNG) menurunkan kebutuhan material yang perlu diincinerasi, dan dengan sendirinya mengurangi biaya olah per ton sampah.

Diperlukannya Penjelasan Mekanisme Bantuan Biaya Pengolahan Sampah

Perpres 18/2018 menyatakan bahwa Pemerintah Pusat akan memberikan bantuan biaya pengolahan sampah kepada Pemerintah Daerah. Namun, tidak dijabarkan mengenai apakah yang dimaksud dengan “biaya pengolahan sampah”? Stakeholder memerlukan ketegasan lebih lanjut mengenai teknis dari dukungan pengolahan sampah ini. Apakah ini dapat dipahami sebagai (i) bantuan tipping fee terhadap pemerintah daerah atas sebuah fasilitas waste-to-energy yang dipilihnya, ataukah (b) terbatas pada biaya operasi teknologi incinerator gasifikasi dan pyrolysis sendiri dan tidak termasuk pengembalian investasi? 

Diluar itu, perlu juga digarisbawahi bahwa dengan melaksanakan sebuah thermal technology, Pemerintah Daerah belum sepenuhnya bebas dari biaya pengelolaan TPA. Sebuah thermal unit memiliki kapasitas yang terbatas dan fix, contohnya seribu ton. Padahal, sampah meningkat dengan jumlah penduduk dan aktifitas urbanisasi. Apabila teknologi mass-burn incinerator diterapkan, maka pemerintah daerah memiliki dua pilihan: (a) membeli incinerator dengan kapasitas lebih besar untuk mengantisipasi jumlah sampah dimasa depan (solusi mahal), atau (b) terus mengoperasikan TPA untuk menangani sampah berlebih. Lebih lanjut, sisa pembakaran dari incinerator sendiri memerlukan penanganan yang lebih sanitary di TPA karena merupakan limbah yang mudah membaur (diffuse) dan bocor (leaking) ke lingkungan.

Undang-undang 18/2008 memandatkan bahwa Pemerintah Daerah wajib mengelola TPA nya sebagai sanitary landfill. Namun, hampir semua kota di Indonesia belum dapat memenuhi kewajiban mereka dalam UU18/2008. Sehingga apabila Pemerintah Daerah ingin terus menggunakan TPA nya maka Undang-Undang mewajibkan mereka mengelolanya dengan memenuhi kaidah-kaidah sanitary yang juga membutuhkan biaya operasi yang besar, diluar dari biaya capital expenditure.

APBD yang ada saat ini dianggap belum mampu mengoperasikan TPA dengan standar sanitary dan dengan pelaksanaan Perpres nantinya wajib dibagi antara (1) kontribusi terhadap biaya operasi incinerator dan (2) biaya peningkatan dan operasi TPA yang sanitary supaya dapat memenuhi kewajiban perundang-undangan. Karena itu, perlu segera dilakukan diskusi mendalam terkait berapa kebutuhan dana yang dapat disediakan oleh Pemerintah Pusat untuk mendorong transformasi industry persampahan.

Dipastikannya Kepastian Hukum atas Kontrak Kerjasama

Keterlibatan Badan Usaha baik swasta maupun Badan Usaha Negara dan Daerah, sangat penting bagi keberlanjutan sebuah proyek persampahan. Proyek persampahan adalah proyek dengan kompleksitas tinggi yang memiliki pengaruh luas terhadap jalannya sebuah kota. Proyek persampahan harus memiliki reliabilitas & flexibilitas tinggi baik dari sisi operasi maupun anggaran karena sampah tidak pernah berhenti dihasilkan dan sampah kualitasnya tidak akan pernah bisa dijamin.

Contohnya, pembersihan sungai di kota mengakibatkan kadar air sampah terkirim meningkat dan mengakibatkan tidak tercapainya temperatur aman lingkungan di sistem pembakaran. Badan Usaha harus, dengan cepat mampu mengambil keputusan langkah penanggulangan termasuk penambahan ekuitas atau mengambil kredit bank tambahan apabila diperlukan. Hal ini sulit dilakukan oleh institusi yang pengambilan keputusan terhadap anggaran memerlukan persetujuan banyak pihak. Karena itu, peran Badan Usaha sebagai mitra pemerintah memiliki peran sangat penting dari sisi keberlanjutan operasi, tidak hanya dari sisi kontribusi modal.

Namun, keikutsertaan sebuah Badan Usaha harus diiringi dengan kekuatan hukum sebuah investasi. Pemerintah harus konsisten terhadap apa yang sudah dijanjikan dan direncanakannya. Didalam sebuah kontrak kerjasama antara pemerintah dan swasta, Pemerintah Daerah memiliki kekuatan yang sama dengan Badan Usaha mitranya. Kebijakan seorang gubernur tidak boleh dibatalkan sepihak oleh gubenur berikutnya tanpa alasan yang jelas.

Sampai dengan artikel ini ditulis, telah ada dua kerjasama yang melibatkan pemerintah dan swasta di bidang persampahan di Indonesia, yaitu:

1. Proyek TPST Bantargebang yang ditandatangani di tahun 2008, untuk periode 2009-2023 antara Pemerintah DKI Jakarta dan Joint Operation PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat Organik Energi Indonesia. Essensinya adalah sebagai berikut:

  • Kontrak ini banyak menitikberatkan pada perbaikan TPA dari operasi open dumping menjadi sanitary landfill dengan beberapa fitur baru pendukung operasi sanitary landfill yaitu pengelolaan landfill gas dan pembangkitan listriknya.   
  • Kontrak ini tidak terlalu menitikberatkan pada fasilitas reduksi sampah karena memang pada hakekatnya reduksi sampah akan dilaksanakan melalui ITF-ITF di kota Jakarta sesuai rencana MasterPlan. Sehingga fasilitas-fasilitas yang mereduksi sampah di TPST Bantargebang yaitu composting, pabrik daur ulang, dan fasilitas gasifikasi (GALFAD) direncanakan dalam skala tidak sebanding dengan volume sampah yang ditimbulkan masyarakat DKI yaitu 1,000 ton reduksi sampah per hari dibandingkan total timbulan 6,800 ton per hari. Dari 1,000ton target reduksi per hari, reduksi dari proses thermal (gasifikasi) yang direncanakan di Bantargebang hanyalah 290ton per hari, sisanya  direduksi dengan pengomposan, daur ulang, dan anaerobic landfilling.

2. Proyek TPST Benowo yang ditandatangani tahun 2013, untuk periode 2013-2033 antara Pemerintah Kota Surabaya dan PT Sumber Organik.

  • Kontrak ini memiliki filosofi konsep rekayasa yang sangat berbeda dari Jakarta. Surabaya tidak merencanakan fasilitas pengolahan sampah dalam kota, diluar fasilitas 3R. Oleh karena itu, kontrak ini menitikberatkan pada pengolahan sampah yang mereduksi sampah secara keseluruhan di TPA nya.  
  • Fasilitas pengolahan[1] di Proyek TPST Benowo rencananya akan berkapasitas 1,200 ton per hari, sebanding dengan total timbulan sampah kota Surabaya, yaitu 1,500 ton per hari. Hanya sisa yang tidak terolah akan ditimbun di TPA.

[1] Fasilitas pengolahan dibedakan dengan fasilitas penimbunan meskipun berlokasi dalam kompleks TPA

Dua kontrak diatas dilakukan dalam skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta, namun realisasinya menghadapi banyak tantangan. Proyek TPST Bantargebang adalah proyek sampah menjadi listrik pertama di Indonesia dan yang terbesar hingga hari ini. Landfill Gas Power Plant di TPST Bantargebang menggunakan teknologi Austria & Jerman, pernah membangkitkan listrik sampai dengan 12MW meskipun performanya terus menurun sepanjang waktu.

Sangat disayangkan bahwa pada saat artikel ini ditulis Proyek TPST Bantargebang tengah menghadapi ancaman pemutusan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akibat kesalahpahaman para pihak yang berlarut-larut. Pemerintah DKI saat ini melupakan esensi MasterPlan persampahan Jakarta yang telah merancang Proyek TPST Bantargebang sebagai fasilitas pendukung proyek-proyek ITF, dan bukan fasilitas utama sejak tahun 2008. Akibat kesalahan ini, TPST Bantargebang wajib menerima sampah jauh lebih banyak dari perkiraan semula.

Dengan jumlah lahan yang terbatas dan sampah membeludak, TPST Bantargebang tidak lagi dapat dioperasikan sebagai sanitary landfill[2] sesuai kontrak kerjasama yang berakibat pada tidak dapat ditangkapnya landfill gas akibat tidak adanya lagi waktu untuk penutupan sampah. Hal ini berakibat pada pembangkit listrik 16MW yang kekurangan gas dan berakhir dengan kegagalan keuangan perusahaan pembangkit akibat tidak mampu membayar hutangnya. Artinya, kebijakan yang tidak konsisten berujung dengan kebangkrutan mitra swasta, yang merupakan preseden buruk dalam pelaksanaan proyek KPS di Indonesia.

Proyek TPST Benowo sendiri juga belum berjalan mulus. Proses merealisasikan proses gasifikasi menghadapi jalan panjang dari sisi perizinan. Proyek ini sampai hari ini belum menandatangani Power Purchase Agreement nya sehingga belum dapat memasuki financial closing. Kemunduran waktu realisasi proyek yang di lelang tahun 2012 ini memberatkan pengembang karena setiap tahun kemunduran mengakibatkan biaya konstruksi membengkak dan masa pengembalian yang semakin pendek.

Adanya BKPM yang membuat perizinan dalam satu pintu memang memperbaiki keadaan apabila peraturannya sudah jelas, tepat dan ada. Dalam kasus industri pioneer seperti dalam kasus proyek TPST Bantargebang dan TPST Benowo, semua pihak perlu waktu untuk mengambil kebijakan dan keputusan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan-kebijakan khusus supaya Badan Usaha pioneer terus ada dan tidak terabaikan oleh kebijakan yang sudah diperbaharui. Contohnya dalam kaitan kebijakan pembaharuan Feed-in-Tariff atau kebijakan baru lainnya terkait dukungan biaya pengelolaan.

[2] Kaidah sanitary landfill artinya adalah sampah yang tidak sedang dalam proses penimbunan harus ditutup dengan geomembran.

Penutup

Penerbitan Perpres 18/2016 dan Permen ESDM 44/2015 menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia sudah mengambil arah kebijakan yang sangat mendukung industry persampahan. Namun demikian, penulis mengingatkan bahwa, kebijakan sektor persampahan adalah lebih luas dari lingkup mendorong waste-to-energy. Final disposal atau TPA masih merupakan bagian penting dari pengelolaan sampah di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang lahannya masih luas, dan tidak hilang begitu incinerator diterapkan.

Perlu dikaji pula, rute recovery energy yang paling pas dengan kultur dan kondisi transisi di Indonesia. Demikian pula, kebijakan di hulu menentukan efisiensi biaya operasi dan tipe teknonologi yang tepat untuk diterapkan. Badan Otoritas Persampahan perlu segera diwujudkan dengan mandat untuk terus menjadi pendorong transformasi industri persampahan, baik dari sisi kebijakan, kelembagaan, kajian teknologi, dan pendorongan kemitraan dengan badan usaha.